Saturday, January 14, 2017

Sumba Barat Daya vs OAT (Obat Anti Tuberkulosis)

Kemana ya harus mengeluh?

Saya dokter, sementara ini sedang bekerja di Kabupaten Sumba Barat Daya, cukup banyak pasien yang menderita infeksi TBC, baik TB paru BTA positif, negatif, maupun TB ekstra paru. Saya memang gak punya angka pastinya, yang jelas ruang ranap pasien TBC seringkali penuh, setiap kali jaga klinik atau poli ada saja pasien yang datang dengan keluhan batuk darah atau keluhan-keluhan lain yang mengarah ke penyakit TBC. Untuk urusan diagnosa, mudah, di faskes pertama pun bisa periksa sputum BTA SPS, yang jadi soal itu ketika BTA positif dan lalu........obatnya gak ada. Biasanya pasien akan disuruh ke rumah sakit, yang kemudian harus mengulang lagi pemeriksaan BTA SPS (pasien harus bolak balik, bayar ongkos mobil, yang gak murah buat mereka yang makan aja satu kali sehari kalau ada rejeki itu juga) itu juga belum tentu di RS OAT nya ada. Nah lho!

Padahal nih ya, di klinik sendiri serta di jalan-jalan besar dipasang baliho, poster, banner yang tulisannya lebih kurang mengenai gerakan Tanah Sumba bebas TB dan HIV. Kesannya serius niatnya pembasmian tuntas TB dan HIV tapi kok kenyataannya gak sejalan yah yang kami temui di lapangan? OAT dari dinkes seringkali "macet". Di rumah sakit kami sendiri akhirnya mau gak mau kadang kalau pasien lagi "apes" yah gak kebagian OAT paketan yang gratis sehingga mau gak mau harus pakai OAT lepasan yang artinya gak ditanggung B*JS yang artinya mesti bayar sendiri yang artinya juga gak murah karena sekali beli obat minimal 4x30 biji (120 biji). OAT itu harus diminum teratur, tidak boleh putus, nah ini kalau uang buat makan aja susah, terus ngarepin mesti beli obat sendiri? Biasanya pasien yang di"anaktirikan" adalah pasien-pasien BTA negatif tapi positif dari hasil rontgen. Karena dianggap kumannya negatif di sputum sehingga kemungkinan menularkannya kecil, jadinya kalau OAT paketan lagi terbatas jumlahnya mau gak mau mereka ini jadi pasien yang diberikan OAT lepasan. Ya dan mereka ini biasanya pasien-pasien yang ujung-ujungnya putus pengobatan dan lost di follow-up.

Siapa tau nih ada bapak-bapak dinkes atau yang ngurusin pendistribusian OAT ini, lagi surfing-surfing internet trus baca blog ini, TOLONG DONG bantu pengadaan OATnya, yang kategori I dulu deh paling gak. Sekarang OAT fase lanjutan bahkan sering kosong, apalagi OAT paket untuk anak (selama 6 bulan saya di sini belum pernah ada). Kami dari pihak rs dan klinik sendiri sudah rutin membuat permintaan OAT ke dinas, tapi yah kalau lagi kosong itu....kita juga mau ngarep darimana lagi? Ngarep jatuh dari langit